Sabtu, 11 Februari 2012

Mata saya tembem satu ! ! !

Begini jadinya nasib saya kalau harus bertabrakan dengan makhluk serangga bernama semut. Tepatnya, terjadi  pada mata saya. Ingin hati menyelamatkan semut itu agar tidak mati tenggelam  di sekitar pelupuk mata, tapi memang sudah takdir jika antara mati dan mata yang paduan hurufnya  selisih 1 digit  tak jauh-jauh dari nasib serangga terbang itu. Tak peduli seberapa besar ia dibanding teman-teman satu spesiesnya, tetap saja dia tak berdaya. Dan, tak peduli seberapa gigih saya menyingkirkannya  dengan dorongan menghindari perih pula, tetap saja , perkara naas itu harus menimpa makhluk hitam tersebut. Satu kata yang bisa muncul.Kasian. Kasian saya dan semut itu.
Kalau cerita semut berhenti pada kematiannya, cerita saya lain lagi. Andai cerita saya sama, pastinya di sini saya tidak akan bisa bercerita, bukankah begitu? :D
Yaa, benar. Sudah hampir 4 hari ini mata saya tembem satu. Mungkin saja, sebelum mati, semut itu murka  hingga tidak terima kalau sekiranya dia mati, saya tak merasakan imbasnya sama sekali. Memang kalau saya berpikir seperti ini, sudah pasti saya terpojok sebagai tersangka dengan semut itu  sebagai korbannya. Tapi, kalau boleh saya membela diri dengan tetap menghormati mendiang semut tersebut, kita berdua memang sama-sama berperan sebagai korban. Jika semut menjadi korban atas ketiadaan rambu-rambu lalu lintas di ketinggian 2 m dari permukaan tanah, sayapun menjadi korban atas keterbatasan mata saya yang tidak bisa melihat semut dengan diameter  0,8 milimeter seperti halnya melihat manusia yang jelas diameternya berlipat-lipat darinya. Dan, tentu saja tidak baik bagi saya mempermasalahkan keterbatasan ini jika memang ini adalah soal takdir yang sudah berketentuan. Akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti memperlebar pembahasannya. Itu hanya kecelakaan biasa. Karena, saking terbiasanya terjadi, termasuk pada anda, iya kan? Heheheh
Jadi, derita saya dengan mata tembem satu ini benar-benar membuat saya repot. Apalagi, beberapa orang memang harus saya temui. Bukan saja cukup saya temui, tapi pada saya “mereka-mereka “ menfokuskan penglihatan diri. Maka, mulailah saya melakukan permak pada bagian mata ini. Berbagai jurus saya gunakan untuk menyamarkannya. Sampai  kepada kaca mata yang sering saya acuhkan keberadaannya, kini dengan terpaksa  saya pakai. Sudah begitu, tetap saja ada yang terheran dengan  mata saya ini. “hey..jangan tatap mata saya seperti itu, ini tuh kecokot semut. Masih mending sih, daripada kecokot manusia, haha...”. Beberapa kata itu yang  saya ungkapkan untukmenyelamatkan rasa malu.
Lamat-lamat saya  perhatikan di spion motor, saya jadi teringat dengan hukum “keberpasangan”. Aneh rasanya, jika terlihat mata saya tembem satu. Kenapa tidak bening semua, atau  sekalian aja tembem semua. Kalau berpasangan seperti itu kan pasti terlihat serasi.
Ternyata, segala yang berpasangan itu indah. Tuhan ciptakan duka, yang dengannya kita bisa merasakan suka. Ada musim hujan, yang dengannya kita mengerti arti kemarau. Termasuk dalam kasus mata saya, terkandung keserasian dan ketidakserasian sekaligus. Ketidakserasiannya karena yang tembem hanya satu, keserasiannya dengan adanya “kesakitan” ini, saya jadi paham tentang nikmat kesehatan. Dan, yang tidak kalah penting, dalam hukum keberpasangan, “Tuhan menciptakan kita berpasangan”. Ayow euy, segera memasangkan diri. Nb: Baca syarat dan ketentuan yang berlaku dalam apa yang kita yakini ^^

Kamis, 09 Februari 2012

Karena kita kenal,,,

Sepertinya traffict light memang menjadi tempat keramat saya untuk memunculkan ide sebuah note. Kalau kemarin saya menulis tentang “orang gila yang berkelas” , di setting tempat yang sama ini tiba-tiba saya mempunyai pemikiran lagi. Sebenarnya sederhana. Tapi, tidak tahu kenapa, saya ingin sekali menulisnya.
Siang itu, sebagai mahasiswa kawakan (baca: senior) yang sudah lolos dari tempat studinya, saya mencoba mengurus arsip-arsip yang memang harus segera diurus sebelum saya melanglang buana ke dunia luar  untuk –bukan mengadu nasib sih, tapi- meningkatkan nasib (nasib: ukuran, ukuran taraf hidup, hhh). Tak sengaja saya bertemu dengan sesosok yang saya kenal, sangat akrab,  tapi sudah lama saya tidak menemukan batang hidungnya karena batas ruang dan waktu (cieee). Akhirnya, saya memutuskan untuk menjadikan patner dalam journey saya pada waktu itu.
Sebenarnya tidak penting saya menceritakan kejadian itu. Tapi yaa, tidak apa. Seperti hal-hal lainpun segalanya harus dimulai dengan pembukaan. Baik kuliah, relationship, do’a , perjalanan , atau sebuah note pun bukankah perlu pembukaan. Bahkan dengan hal yang tidak nyambung sekalipun. Dan, akrab sekali kita menyebutnya dengan kalimat “basa-basi”. Bukankah begitu?
Baiklah, cukup sudah basa-basi saya ini. Langsung saja ke duduk perkaranya.
Kembali ke traffict light. Harus saya ceritakan terlebih dahulu kenapa di tempat ini kita atau setidaknya hanya saya, terinspirasi. Deretan lampu merah,kuning,hijau, adalah alasan kenapa orang-orang seringkali menunggu dan berdiam diri di sana. Dan, saat itulah kesempatan bagi saya untuk mengamati lingkungan sekitar atau berpikir tentang hal-hal yang tidak tampak di depan mata saat itu, bahasa nak mudanya “ngelamun” gitu.
Saat itu saya sedang mengamati dua anak SMA dengan dua kendaraan yang berbeda, biarpun sama-sama motornya :D. Satu anak berbaris di depan, dan yang lainnya di belakang. Cuaca siang itu panas sekali. Berpadu dengan aktivitas menunggu lampu hijau menyala, saya pikir tepat sekali jika sekali senggolan usil kita kepada sesama bisa menyalakkan kemarahan.
Tapi tidak, dengan yang terjadi pada dua anak SMA itu. Awalnya, saya menduga anak SMA yang berada di barisan belakang teman sesama SMA nya itu berjenis kelamin laki-laki karena performance nya yang secara permukaan lebih tepat diduga seperti itu. Tapi, ternyata di akhir cerita saya tahu bahwa dua-duanya memang perempuan.
Jadi begini,  Si anak yang berbaris di belakang itu menyodok motor temannya yang di depan, berkali-berkali. Saya kira, dia seorang pelajar laki-laki yang sedang ingin menggoda anak lain atau bisa jadi dengan paksa ingin kendaraan  di depannya bergeser. Pikirku, “Nih anak, panas-panas cari masalah aja. Pengen didamprat apa dia”. Sejurus kemudian, si anak yang berposisi di depan menoleh, dan memperhatikan sosoknya. Seulas senyuman muncul.
Benar-benar, sodokan yang sama, tapi responnya berbeda. Semua terjadi “karena kita saling kenal”