Begini jadinya nasib saya kalau harus bertabrakan dengan makhluk
serangga bernama semut. Tepatnya, terjadi pada mata saya. Ingin hati
menyelamatkan semut itu agar tidak mati tenggelam di sekitar pelupuk
mata, tapi memang sudah takdir jika antara mati dan mata
yang paduan hurufnya selisih 1 digit tak jauh-jauh dari nasib
serangga terbang itu. Tak peduli seberapa besar ia dibanding teman-teman
satu spesiesnya, tetap saja dia tak berdaya. Dan, tak peduli seberapa
gigih saya menyingkirkannya dengan dorongan menghindari perih pula,
tetap saja , perkara naas itu harus menimpa makhluk hitam tersebut. Satu kata yang bisa muncul.Kasian. Kasian saya dan semut itu.
Kalau
cerita semut berhenti pada kematiannya, cerita saya lain lagi. Andai
cerita saya sama, pastinya di sini saya tidak akan bisa bercerita,
bukankah begitu? :D
Yaa, benar. Sudah hampir 4 hari ini mata saya
tembem satu. Mungkin saja, sebelum mati, semut itu murka hingga tidak
terima kalau sekiranya dia mati, saya tak merasakan imbasnya sama
sekali. Memang kalau saya berpikir seperti ini, sudah pasti saya
terpojok sebagai tersangka dengan semut itu sebagai korbannya. Tapi,
kalau boleh saya membela diri dengan tetap menghormati mendiang semut
tersebut, kita berdua memang sama-sama berperan sebagai korban. Jika
semut menjadi korban atas ketiadaan rambu-rambu lalu lintas di
ketinggian 2 m dari permukaan tanah, sayapun menjadi korban atas
keterbatasan mata saya yang tidak bisa melihat semut dengan diameter
0,8 milimeter seperti halnya melihat manusia yang jelas diameternya
berlipat-lipat darinya. Dan, tentu saja tidak baik bagi saya
mempermasalahkan keterbatasan ini jika memang ini adalah soal takdir
yang sudah berketentuan. Akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti
memperlebar pembahasannya. Itu hanya kecelakaan biasa. Karena, saking terbiasanya terjadi, termasuk pada anda, iya kan? Heheheh
Jadi,
derita saya dengan mata tembem satu ini benar-benar membuat saya repot.
Apalagi, beberapa orang memang harus saya temui. Bukan saja cukup saya
temui, tapi pada saya “mereka-mereka “ menfokuskan penglihatan diri.
Maka, mulailah saya melakukan permak pada bagian mata ini. Berbagai
jurus saya gunakan untuk menyamarkannya. Sampai kepada kaca mata yang
sering saya acuhkan keberadaannya, kini dengan terpaksa saya pakai.
Sudah begitu, tetap saja ada yang terheran dengan mata saya ini.
“hey..jangan tatap mata saya seperti itu, ini tuh kecokot semut. Masih mending sih, daripada kecokot manusia, haha...”. Beberapa kata itu yang saya ungkapkan untukmenyelamatkan rasa malu.
Lamat-lamat
saya perhatikan di spion motor, saya jadi teringat dengan hukum
“keberpasangan”. Aneh rasanya, jika terlihat mata saya tembem satu.
Kenapa tidak bening semua, atau sekalian aja tembem semua. Kalau
berpasangan seperti itu kan pasti terlihat serasi.
Ternyata,
segala yang berpasangan itu indah. Tuhan ciptakan duka, yang dengannya
kita bisa merasakan suka. Ada musim hujan, yang dengannya kita mengerti
arti kemarau. Termasuk dalam kasus mata saya, terkandung keserasian dan
ketidakserasian sekaligus. Ketidakserasiannya karena yang tembem hanya
satu, keserasiannya dengan adanya “kesakitan” ini, saya jadi paham
tentang nikmat kesehatan. Dan, yang tidak kalah penting, dalam hukum
keberpasangan, “Tuhan menciptakan kita berpasangan”. Ayow euy, segera
memasangkan diri. Nb: Baca syarat dan ketentuan yang berlaku dalam apa
yang kita yakini ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar